Tokoh Pembaharu
-
KHALIL MUTRAN
Khalil Mutran sebagai penyair Muslim humanis. Ia lahir 01 Juli
1872 di Baalbek, Lebanon. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Zahlah dan
melanjutkan pendidikan tinggi di Kolej Katolik. Ia belajar bahasa Perancis dan
juga bahasa Arab. Ia aktif menentang rezim Turki Usmani sehingga harus mencari
suaka di Paris. Dari tahun 1890 hingga 1892 ia tinggal di Paris dan kemudian
pindah ke Mesir hingga meninggal pada 01 Juni 1949.
Mutran menjadi penyair pembaharu yang cukup berpengaruh di dunia
Arab. Ia tidak puas dengan bentuk puisi Arab tradisional dan berniat
meninggalkan pola qasidah puisi Arab. Pola qasidah sangat terikat dengan aturan
rigid rima dan ritma, multitema, dan memiliki bait yang sangat panjang. Hal ini
dirasa tidak cocok dengan puisi modern yang memiliki pola kesatuan organik.
Mutran menjadi inspirasi kolompok sesudahnya dalam pembaharuah puisi Arab,
terutama kelompok Diwan dan Apollo.
Sebagai gantinya, ia mengimani
model puisi Eropa setelah lama mempelajari sastra Perancis di Paris. Haluan
inilah yang membedakannya dengan al-Barudi, pendahulunya dalam pelopor sastra
Arab modern. Mutran membawa konsep baru di bidang puisi Arab, yaitu asas
kesatuan organik dan struktur yang memperlihatkan hubungan dalam suatu konteks
yang dipengaruhi teori strukturalisme Jean Piaget. Hal ini tentu sangat berbeda
dengan konsep puisi Arab yang menampung banyak tema dalam sebuah episode puisi
(Qasidah).
Dalam hal ini, Mutran berada di
bawah pengaruh langsung puisi romantik Prancis, terutama puisi-puisi naratif
Hugo, lirik-lirik Mussel dan Baudelaire. Di samping itu, Mutran juga berhasil
menghancurkan pola qasidah yang telah kehabisan potensi-potensi politiknya dan diganti dengan
pola perpuisian yang lebih bebas. Dalam karya-karyanya ada kecenderungan untuk
mengungkapkan visi pribadinya yang bersifat individualistik, introspekstif, dan
ekspresif. Hal ini dapat dimengerti, karena ia berpandangan bahwa puisi adalah
seni yang berhubungan dengan kesadaran.
Mutran merupakan orang yang pertama kali mengembangkan aliran
romantik dalam perpuisian Arab. Meskipun syair-syairnya sangat bernuansa
romantik yang mengekspresikan pengalaman-pengalaman pribadi seputar cinta,
kenangan masa kecil, sejarah jamannya, dan impian-impiannya, namun Mutran juga
kritis terhadap situasi sosial yang melingkupinya. Melalui pementingan makna
dalam puisi-puisinya, ia menyerang despotisme, tirani, perbedaan kelas,
kebodohan, ketidakadilan sosial, dan membela perjuangan ke arah kemajuan dan
kebebasan berpikir.
Karya puisinya dibukukan dalam antologi The Diwan of Khalil dan Weeping Lion. Yang penting dari revolusi puisi
ala Mutran bahwa melalui karya-karyanya, terutama yang berjudul Nayrun, ia
telah berhasil melepaskan diri dari dan berhasil meninggalkan pola Qasidah yang masih dipertahankan oleh al-Barudi, dan kawan-kawan.
Selain puisi, karya prosanya yang terkenal adalah Mirror of Days, mengandung sejarah singkat dunia.
Mutran juga menerjemahkan beberapa karya Shakespeare dan Corneille ke dalam
bahasa Arab.
-
ABBAS
MAHMUD AL-AQQAD
Abbas al-Aqqad dilahirkan
di wilayah Aswan, Mesir pada tanggal 28 Juni 1889. Ia tumbuh dalam keluarga
yang taat beragama dan mencintai ilmu Di usia remajanya, Abbas al-Aqqad rela
bekerja untuk membeli buku agar hobinya membaca terpuaskan. Bahkan ia membaca
lapan jam sehari. Akibatnya, ia telah piawai menulis di saat usianya masih
sangat muda.
Bayangkan, di usia
16 tahun ia telah menerbitkan majalah mingguan Raj’u Sada. Ia
juga menjadi penulis pada majalah al-Jaridah pimpinan Ahmad
Lutfi al-Sayyid dan majalah al-Zahir pimpinan Abu Syadi.
Ia juga pernah
bergabung dalam penerbitan surat kabar al-Dustur. Di bidang
jurnalistik ini, ia dibimbing oleh ulama penulis terkenal; Muhammad
Farid Wajdi. Kecerdasan dan ketajaman tulisan al-Aqqad telah membuat
terkesima guru-gurunya, seperti Muhammad Abduh, Sa’ad Zaglul Pasha,
Abdullah Nadim, dan Syekh Fakhrudin Muhammad.
Penggalan kesan Syekh
Ahmad Thayyib, syekh al-Azhar, Mesir berikut ini bisa menggambarkan
kualitas al-Aqqad. ‘Saya adalah pencinta karya-karya al-Aqqad. Dia adala sosok
manusia yang mampu membentuk dirinya sendiri. Dia adalah pemilik nalar raksasa.
Apapun yang ditulisnya, tulisannya sangat mendalam.’
Sebagai sastrawan,
Abbas al-Aqqad memiliki ciri yang brilian. Paduan antara perasaan yang dalam
dengan pemikirannya begitu serasi. Karya puisinya memaparkan pendapat-pendapat
yang cerdas.
Ia tidak lagi
mempermasalahkan bentuk puisi, tapi lebih menekankan pada maknanya. Gaya ini
dalam sastra Arab dinamakan puisi bebas (syi’r mursal). Ia
mengkritik puisi dan prosa yang penuh hiasan dan lebih mengarahkan kepada
susunan kata yang penuh arti dan padat isi.
Puisi bertema kontemporer, meninggalkan
puluhan karya Bersama sejawatnya Abdurrahman Syukri (1889-1958) dan Ibrahim
Abdul Qadir al-Mazini (1890-1949), Abbas al-Aqqad menyambut ide
pembaharuan sastra Arab dengan membentuk aliran baru yang disebut Kelompok
Diwan.
Intinya, kelompok
ini sesungguhnya merupakan antitesis dari aliran Neo Klasik. Mereka menolak
kesatuan bait dan memberi penekanan pada kesatuan organis puisi, mempertahankan
kejelasan, kesederhanaan, dan keindahan bahasa puisi yang tenang.
Di samping itu,
mereka mengambil segala macam sumber untuk memperluas dan memperdalam persepsi
dan sensitivitas rasa penyair. Karakteristik lainnya, tema-tema yang diangkat
dalam karya-karya kelompok ini berkaitan dengan persoalan-persoalan kontemporer
seperti humanisme, nasionalisme, dan Arabisme. Karya-karya yang dihasilkan juga
banyak dipengaruhi romantisme dan model kritik Inggris.
Abbas Al-Aqqad
meninggal di Kairo, Mesir tanggal 13 Maret 1964. Ia memang tidak meninggalkan
anak dan istri karena hidup melajang. Namun, ia telah meninggalkan puluhan
karya, seperti 10 antologi puisi, di antaranya Abir Sabil, Hay
al-Arbain, ‘Asafir al-Maghrib, dan Hidayat al-Karwan.
Satu-satunya novel
karya al-Aqqad berjudul Sarah banyak dikaji peneliti.
Pemikiran orisinalnya tentang obsesi kemajuan ummat Islam terkumpul dalam Mausu’ah
Abbas Mahmud al-Aqqad (1970).
#AYO KULIAH DI UIN RADENFATAH
Komentar
Posting Komentar