Pertumbuhan Puisi Masa Kebangkitan
Banyak sekali keunikan yang terdapat pada
puisi arab. Salah satunya adalah puisi arab
panjang (kasidah) seringkali tampak pendek jika dibangdingkan dengan
puisi-puisi eropa. Satu baris dalam puisi Arab, biasanya dibagi menjadi
dua, secara umum dengan pola rima di
permulaan puisi, khususnya dalam kasidah.
Kasidah
tidak seperti potongan qith 'a yang sangat panjang dengan struktur yang terbagi-bagi. Pada zaman pra-Islam,
puisi, disebut dengan mu 'allaqdt,
sebagian besar ditulis dalam model kasidah(panjang) . Oleh penulisnya,
pembukaan kasidah-kasidah tersebut sering diawali dengan kata nasib yang
maknanya berhubungan dengan rasa cinta dan kasih sayang atau menaruh iba pada
diri sendiri. Untuk melupakan bayangan wajahkekasihnya itu, dia melakukan perjalanan
panjang melintas dan menembus gurun dengan ontanya. Penyair mengakhiri puisinya
dengan kata-kata pujian yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri atau
kabilahnya, bersamaan dengan itu, ia menyindir atau memperolok musuh-musuhnya
atau musuh kabilahnya (Badawi, 1975:3).
Formula/cara
penulisan puisi dengan awalan nasib ini
masih digunakan oleh para penyair Arab pada masa Umayyah karena dipandang
sebagai ciri khas puisi Arab yang mengutamakan ungkapan perasaan yang dalam dan
jujur (Zaydan, 1996:252). Pada zaman Arab pra-Islarn, puisi Arab menjadi
fondasi utama dan dipandang sebagai sandaran dalam kaidah berpuisi. Model puisi
yang lazim pada masa itu adalah puisi dengan enam belas metrum dengan struktur
bergabung, tanpa rima, yang penggunaannya hanya dalam puisi-puisi serius saja Itu
pun dengan rima tunggal .
Tapi ,
seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan sastra Arab lambat laun mulai
terpengaruh oleh sastra Barat. Setelah beberapa abad sebelumnya sempat
mengalami kemunduran, maka memasuki abad modern sastra Arab mulai bangkit
kembali. Masa ini disebut dengan ‘Asr al-Nahdah pada saat itu tengah didahului oleh masa “Masa Kemunduran” (‘Ashr al-Inhithâth). Tentang kapan
berakhirnya masa kemunduran ini, para sejarawan berbeda pendapat. Ada yang
berpendapat bahwa berakhirnya masa kemunduran ini ialah ketika Napoleon
memasuki Mesir (1798) dan ada juga yang berpendapat bahwa saat Dinasti Utsmani
mengalami kekalahan pada PD I (1918). Sastra Arab, secara umum mengalami
kemunduran di akhir zaman-zaman pertengahan, dan telah mencapai titik kulminasi
terendahnya pada abad ke-19, yaitu masa sulit bagi masyarakat Arab karena
merebahnya buta huruf, tersendatnya ekonomi, munculnya intimidasi dari pihak
luar dan adanya pengasingan agama dari diri mereka.
Puisi Arab pada awal abad ke-19 secara berangsur-angsur
sebenarnya mulai terpengaruh oleh Eropa, meskipun dalam praktiknya menghadapi
berbagai hambatan dari kaum tradisionalis yang ingin menjaga konvensi mono-rima
klasik. Para kaum tradisionalis yang berorientasi pada tradisi puisi Arab
klasik ini kemudian sering disebut sebagai gerakan neo-klasik. Motif munculnya
gerakan ini sebenarnya adalah mengangkat dan mengukuhkan eksistensi dan
karakter budaya Arab untuk melawan kekuatan asing yang masuk dengan didasarkan
pada peran imajinasi dan nilai lokalitas.
Sebagaimana neo-klasik Barat yang berusaha menghidupkan kembali
sastra Yunani dan Latin Kuno, neo-klasik Arab berkeinginan kuat untuk
menghidupkan keindahan puisi-puisi lama (terutama puisi-puisi masa Abasiyyah)
dengan dibalut semangat dan tema baru meski tak begitu variatif. Secara
sepintas, pembaharuan genre puisi yang dilakukan oleh gerakan neo-klasik pada
masa ini tidak begitu kentara karena tidak memiliki banyak inovasi. Hal yang
tampak justru hanyalah peniruan terhadap karya-karya klasik di masa sebelumnya.
Puisi-puisinya cenderung mengikuti gaya-gaya lama, baik dalam hal perasaan,
tujuan ideologis, dan juga bentuk ungkapan. Di antara penyair kenamaan yang
mengusung gerakan ini adalah Boutrus Karâmah (1774-1851) (Suriah), Hasan
Quwaidir (1789-1845) (Mesir), Nashîf Al-Yâziji (1800-1871) (Lebanon),
Syihabuddîn Mahmûd Al-Alûsi (1803-1854) (Irak), Mahmûd Shafwat As-Sa’atiy
(1825-1881) (Mesir), A’isyah Taimuriyyah (1840-1902) (Mesir), dan Mahmûd Sâmî
Al-Bârûdî (1838-1904) (Mesir).
Dari nama-nama tersebut, Al-Bârûdî disebut-sebut sebagai pelopor
kebangkitan puisi Arab modern. Ia digambarkan seperti seorang Mutanabbî di masanya. “Sya’ir An-Nahdhah”
(“Penyair Kebangkitan”) disematkan kepadanya. Dalam usaha mencairkan kebekuan
di bidang puisi pada masa itu, ia melakukan berbagai macam usaha pembaharuan..
Produk puisi yang dihasilkan oleh para penyair neo-klasik pada
masa ini merupakan lanjutan dari tradisi skolastik yang lebih mementingkan
kepandaian berbahasa daripada visi pribadi sehingga sebagian besar dari puisi
mereka lebih mengedepankan kemerduan dan keindahan bunyi ketika dibacakan
sehingga lebih bersifat oratoris daripada bersifat akrab dan liris.
Namun demikian, karena para penyair neo-klasik berpedoman pada
“selera yang baik”, “kehalusan”, dan “kecermatan” dalam struktur dan gaya,
serta cenderung untuk -dengan penuh perasaan- mengungkapkan tema-tema sosial
dan patriotik, maka jelas mereka itu telah menghidupkan kembali bahasa puisi
yang sudah membatu, menghidupkan kembali kepekaan estetik yang sudah mati,
sehingga pada dasarnya puisi mereka merupakan ungkapan otentik tentang
gagasan-gagasan dan aspirasi-aspirasi yang berlaku di masa itu.
Mengenai “penghidupan kembali” tersebut secara
nasionalisme-politik memiliki arti yang sangat penting. Melalui gerakannya ini,
Al-Bârûdî mampu membangkitkan kesadaran nasional bangsa Arab, terutama
Mesir. Jadi, tampak bahwa “penghidupan kembali” tersebut oleh sebagian
kritikus dipandang sebagai sebuah kekurangan, namun oleh yang lainnya justru
dipandang sebagai sebuah kelebihan.
Tema-tema lama—sepertial-washf (deskripsi), al-madh (madah/pujian), al-fakhr (pembanggaan/keperwiraan), ar-ritsa’ (ratapan/elegi), al-ghazal (cinta), al-hikmah (kebijaksanaan), dan al-hija’ (kebencian)— tampaknya juga masih
cukup mendominasi dengan sedikit modifikasi. Di antara modifikasi yang
dilakukan semisal tema al-fakhr yang dulu digunakan untuk
membangga-banggakan kelebihan seorang penyair atau sukunya, kemudian bergeser
menjadi pembanggaan terhadap bangsa/umat. Demikian pula al-ghazal yang dulu cenderung digunakan untuk
mengungkapkan kecantikan seseorang secara fisik, kemudian bergeser pada
senandung cinta yang melukiskan gelora jiwa. Namun bagaimanapun juga, dengan
neo-klasik yang diusungnya, Al-Bârûdî telah memberikan warna dalam sejarah
perkembangan puisi Arab modern. Ia setidaknya telah mengembalikan kepercayaan
diri para penyair Arab di zamannya.
Referensi ;
digilib.uin-suka.ac.id/23753/1/TaufiqA.Dardiri
PERKEMBANGAN.PUISI.ARAB.MODERN
https://sastraarab.com/2018/11/01/puisi-arab-modern-dari-abad-ke-19-hingga-abad-ke-21-bagian-i/
#AYO KULIAH DI UIN RADENFATAH
Komentar
Posting Komentar